ini blog Pribadi Hilda Meilani, semoga ga nyesel nyesel amat ya sudah berkunjung hehe

Sabtu, 05 Maret 2011

Posted by Only Hilda Meilani 12.59 No comments
Kisah Nasruddin Hodja
P
ada suatu hari hiduplah seorang laki-laki yang nama dan panggilannya Nasruddin Hodja. Di malam perkawinannya, dua cendikiawan hadir memberi kesaksian. Mereka duduk di tengah-tengah pesta pernikahan dan berbincang hangat seputar keagamaan. Kemudian Nasrudin Hodja terpesona dengan perbincangan mereka. “esok hari saya harus pergi dan memperoleh pengetahuan seperti mereka, alangkah parahnya menjadi demikian bodoh. Aku berusia dua puluh tahun dan baru saja menikah, tapi apa gunanya ? aku tidak mengetahui apapun !”. kemudian Nasruddin menghampiri mereka, “ permisi tuan tuan, dimana tuan tuan memperoleh pengetahuan ini?saya hendak meniru pembicaraan seperti ini.” Salah seorang cendikiawan berkata, “ kami begini tidak lain karena Allah, maka perbincangan kami tidak menimbulkan permusuhan.”
                Nasruddin masuk kekamar pengantin. tetapi, seluruh pikirannya adalah tentang kepergian ke Istanbul untuk menuntut ilmu. Ia bangkit dari tidur saat fajar tebit dan sholat subuh dan berbicara kepada istrinya “ lihatlah Fatimah, ada biri-biri dan sapi di dalam kandang. Taman dan kebun buah adalah kepunyaanmu. Aku akan pergi ke Istanbul untuk menuntut ilmu dan aku akan segera pulang setelah selesai.”
                Ketika ia tiba di Istanbul, ia memasuki suatu madrasah yang di pandang sebagai cikal-bakal pengetahuan. Selama tiga puluh tahun, ia mencurahkan pikirannya untuk belajar dan belajar, hingga ia tidak pernah sedikit pun memikirkan kampungnya, kawannya, tamannya, atau bahkan istrinya. Nasruddin mampu menghapal Al-qur’an dan pada saat yang sama ia lulus dan mendapat ijazahdi studi tingkat lanjut pada usia 50 tahun. Kini ia telah beruban di rambut dan jenggotnya, pada akhirnya ia menjadi cendekiawan. Ia bersiap-siap pulang.
                Setelah menempuh perjalanan dua puluh hari, saat menuju kampungnya, ia menginap di sebuah kampung lain. Ia berjumpa dengan seorang lelaki di ladang yang mengucapkan salam padanya. Nasruddin menginap di rumah leleki tua itu, dan malam harinya mereka menuju masjid untuk sholat malam. Setelah sholat Nasruddin memberikan ceramah bagi masyarakat kampung itu. Ceramahnya telah memberikan motiivasi bagi masyarakat. Berkat Hodja, banyak masyarakat yang tersadarkan dan terbangkit dari kelalaian.
 Orang kampung itu bertanya, “Pak, apakah bapak anda yang menyebabkan anda terpelajar? Apabila ya, semoga Allah memberikan ridho-Nya atas hal yang anda berikan”. Nasruddin berkata “ tidak, aku yatim sejak aku lahir dan aku baru sekolah sejak usia dua puluh tahun dan baru saja menikah”. Orang kampung berkata “ saya kagum terhadap anda berkenaan dengan hal itu. Maka bolehkah saya mengajukan satu pertanyaan?”.  “ Tentu saja” jawabnya. Orang kampung itu bertanya : “ dalam studi tiga puluhtahun anda, apakah awal –awal dari sebuah kebijaksanaan?”. ”Hai orang kampung , awal-awal kebijaksanaan adalah do’a.”.  Namun orang kampung itu menjawab “ Tidak, itu bukan awal-awal kebijaksanaan”. Selanjutnya Hodja menjawab, “ia adalah dengan nama Allah’. Namun orang kampung  berkata lagi, “bukan”. Selanjutnya Hodja menjawab pula, “ia adalah pembukaan al-qur’an yakni Al-Fatihah”. Dan orang kampung itu mejawab lagi, “itu bukan awal-awal kebijaksanaan”. Seterusnya Nasruddin menjawab pertanyaan yang sama, namunjawabannya tak kunjung di benarkan oleh orang kampung itu. Maka Hodja berkata, “ baiklah saudaraku, dapatkah kaumengajarkan saya tentang awal-awal kebijaksanaan itu?”. Dan orang kampung  itu  menjawab “bagaimana mungkin saya mampu mengajar andadalam suatu malam sesuatu yang anda tidak mampu mengajarinya selama tiga puluh tahun?”. Hodja berkata, “saya bersedia melakukan apapun untuk dapat mengetahuinya”. Orang kampung menjawab, “ sesungguhnya aku punya syarat, yaitu engkau harus tinggal bersama saya selama satu tahun. Namun saya tahu engkau ingin pulang kekampung halamanmu besok pagi bukan?”. “ ya namun saya tetap ingin mengetahui itu, segerakanlah agar aku dapat pulang kerumah besok”. Dan orang kampung itu berkata, “dapat di jumpai orang lain yang tidak dapat menjawab awal mula kebijaksanaan selama lima tahun sekalipun, saya pikir satu tahun adalah waktu yang cepat”. Hodja berkata, “baiklah”.
Pagi hari selanjutnya, orang kampung itu berkata, “Ayo kenakann sepatu itudan bawalah sekop. Pergiilah keladanng untuk bekerja.” Dia bekerja disana hingga petang harridan orang kampung itu memberi keharusan-keharusanun yang berat untuk dilakukan Hodja hingga ia selalu pulang dalam keadaan lelah, dan siap untuk tidur setelah ia menunaikan sholatnya. Setiap pagi sepanjang tahun  ia harus pergi keladang untuk mengetahui awal-awal mula kebijaksanaan. Setiap kali ia mengatakan,” sudahlah beri tahu saja padaku awal mula kebijaksanaan itu”. Dan orang kampung itu menjawab ,” segala sesuatu itu ada waktunya.” Demikianlah masa satu tahun itu berlalu.
Hodja berkata lagi, “ayo beri tahu saya itu.” Orang kampung  itu berkata “ aku akan beri tahu engkau ketika engkau akan pulang.” “demi kecintaanku kepada Allah: apakah waktu itu terasa pendek?”.
Pagi itu tiba, setelah mereka menunaikan sholat dan sarapan pagi, dan orang kampung itu membekal Hodja dengan keju dan tepung. Namun Hodja berkata, “ sudahlah tidak usah repot- repot, berirah saja apa itu awal-awal kebijaksanaan?.” Dan orang kampung itu berkata, “awal mula kebijaksanaan adalah kesabaran, ya hanya ini yang harus saya ucapkan.” Hodja pun marah dan ia benar-benar tersinggung. Ia mengetahui sejuml;ah hadis dan ayat al-qur’an tentang kesabaran.dan ia telah beberapa kali merekomendasikan kesabaran dalamsetiap ceramahnya. Kini dalam ketersinggungannya ia telah mendapati bahwa ia telah menyia-nyiakan setahun dalam kehidupannya. Ia telah menghadapi segala mecam penderitaan dan menganggap ini semua benar-benar tidak penting. Hodja berpaling kepada orang  kampung  dan berkata, “apakah anda tidak punya kata hati atauagama dan kepercayaan?. Mudah-mudahan Allah berkenan memberikan anda apa yang patut anda peroleh
Mendengar hal ini orang kampung berkata, “Annaku, kenapa engkau marah kepadaaku? Ketika setahun yang lalu aku bertanya padamu dan engkau tidak mampu menjawabnya dan engkau bekata’ajarilah aku’ maka aku ajukan persyaratan dan engkau menyanggupinya. Ketersinggunganmu menunjukanbahea selama tiga puluh tahun kau belajar bukan apa apa dan hanya sebatas perkataan saja. Tampaknya engkau belum memperaktikannya.” Ia pun pulangkekempung halamannya.
Malam hari turun, ketika Nasruddin hodja pada akhirnya tiba di kampungnya.perkampungan itu banyak mengalami perubahan dan telah dibangun bangunan-bangunan baru. Ia sulit mengenali mana rumahnnya. “Coba saya intip-intip di pintu-pintu kecil”. Ia menemukan sebuah rumah yang terdengar didalamnya suara istrinya. Tapi di luar terdapat dua sandal yang salah satunya sandal laki-laki. Di intipnya jendela rumah itu, ternyata benar itu istrinya dengan seorang laki-laki tidur di bawah kakinya, terlihat mereka saling menyayangi. Nasruddin terbakar amarah, dikeluarkan sebilah pedang untuk di hunuskan kapada keduanya namun ia mengingat betapa kesabarannya harus di uji kembali maka dari itu ia menggagalkan niatnya untuk membunuh mereka. Nasruddin pergi ke sebuah kedai untuk menghilangkan amarahnya. Sesampainya di sana ia bertemu beberapa orang sedang berbincang- bincang sambil minum secangkir teh. Nasruddin bertanya kepada  mereka tentang kehidupan istrinya, Aminah. “ permisi tuan-tuan jikalau tidak keberatan bolehkah saya bertanya?”. Tanya Nasruddin kepada mereka. Salah satu dari mereka menjawab “ ya, silahkan ada apa gerangan ? saya pikir anda pasti perantau ” . “ ya, saya baru saja datang, apakah anda kenal wanita bernama Aminah yang rumahnya di sebelah sana?”. “ ya saya tahu , mengapa?”. Nasruddin berupaya mempertegas kecurigaannya dengan memalsukan dirinya kepada orang lain. “ apakah ia sudah menikah?”. “ ia sudah menikah, namun ia di tinggal suaminya sejak kurang lebih 31 tahun yang lalu”. “lalu, apakah ia telah menikah lagi?”. “ tidak, telah beberapa orang lelaki melamarnya namun ia tetap setia pada suaminya, saya iba padanya karena beliau harus menanggung hidupnya, dan anaknya  sendirian. Saya tak tahu seberapa berarti orang yang telah meninggalkannya itu hingga ia tetap bertahan dalam kemiskinan”.”bukankah ia seseorang yang kaya raya dahulunya?” . “ ya sebelum tertimpa bencana, 20 tahun yang  lalu segala kebunnya rusak terkena gempa. Sehinnga yang tersisa rumahnya saja yang mulai meroboh.”
Nasruddin terenyah mendengarkan cerita orang tadi, rupanya yang bersama Aminah itu adalah anaknya. Betapa menyesalnya Nasruddin atas sikapnya beberapa waktu lalu, meninggalkan istri yang di cintanya hanya untuk ilmu yang hingga saat ini belum berguna bagi dirinya. Saat  itu juga Nasruddin pulang kerumahnya, meminta maaf kepada istrinya dan anaknya, kini ia mendapat pelajaran bahwa sesuatu yang berharga ialah keluarga yang di cintai, namun sesuatu yang lebih berharga adalah ilmu yang dapat bermanffat bagi orang di sekitarnya termasuk keluargannya.
***

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter